Check This..


Jumat, 06 Januari 2012

Kamar Nomor 13


“Maaf, semua kamar disini udah penuh. Yang tersisa hanya kamar nomor 13.”
                Ervan berpikir sebentar. “Nggak pa-pa deh, Mbak,” katanya kemudian.
                “Sebentar ya, Dik.” Petugas resepsionis mengambilkan sebuah kunci dari laci mejanya.
                “Van, disitu katanya serem?” Tanya Ernest sambil menarik tangan Ervan, menjauh dari meja resepsionis.
                “Pindah aja yuk, Van. Cari penginapan lain,” bujuk Sakti gemetar.
“Pindah kemana lagi? Sekarang kan udah malem, lagian diluar ujan gede. Kalian mau kita makin kesasar?”
Sakti memperhatikan suasana diluar penginapan bermodel klasik itu. Hujan yang sedang deras-derasnya mengguyur bumi, dimeriahkan oleh sambaran petir yang menggelegar dan menggetarkan kaca-kaca. Sakti bergidik ngeri.
“Lo takuyt? Masa tampilan berjenggot begini takut sama setan?” ejek Nurdin. “Ayolah, jangan takut! Sampe sana kita langsung tidur, biar kita nggak tau kalo ada setan yang godain kita.”
“Ah, lo sok berani, Din. Kalo lo dikasih liat penampakan gimana?”
“Ngg… gimana ya? Paling gue kabur.”
“Bagaimana? Jadi menginap?” Tanya resepsionis.
“Jadi, Mbak. Eh, kalian diem disini. Awas kalo pada kabur!” Ervan menghampiri resepsionis dan mengambil kunci kamar 13. “Ayo, Jack!”
Ragu-ragu, Sakti dan Ernest mengangkat ransel mereka dan berjalan mengikuti Ervan dan Nurdin. Ransel yang biasanya ringan, kali ini terasa bagai membawa sepotong rel kereta api. Mau nggak mengikuti, bisa diledek pengecut lagi. Lagipula, mereka mau tidur dimana selain dikamar 13 itu?
“Sanatai aja sih, Jack! Palingan juga nggak serem-serem amat. Lo liat kan tadi, mbak-mbaknya cakep. Nggak mungkin ada orang secakep itu kalo tempatnya kelewat nyeremin. Kecuali…..”
“Kecuali apa, Din?”
“Kecuali kalo resepsionis tadi masih sebangsa setanah air sama hantu. Alias, dia itu kuntilanak,” ujar Nurdin tanpa dosa. Dan tanpa dosa pula dia terpingkal melihat Sakti dan Ernest makin gemetar ketakutan.
“Ugh, mentang-mentang agak di pedesaan, tapi modal sedikit nggak ada salahnya kan? Lampu aja diirit-irit banget,” gerutu Sakti kesal.

Penginapan ini agak berbeda dengan penginapan lain yang biasa mereka tumpangi kalau mereka kemalaman sebelum memulai pendakian gunung. Kamar-kamarnya berderet dikanan-kiri  menghadap sebuah koridor dengan pencahayaan yang hemat. Kamar nomor 13 itu terletak diujung koridor itu. Ernest dan Sakti saling berpegangan dan sesekali meraba tengkuk mereka.
“Oke, kita masuk, ya?” Ervan membuka pintu kamar itu dengan hati-hati. “Satu…dua… ti…”
“Wua…!” jerit mereka berbarengan saat pintu terbuka. Lukisan bergambar wanita tua menyambut mereka.
“Van, gue takut. Suer,” kata Sakti gemetar. Pegangannya pada Ernest makin menguat.
“Gimana nih? Masuk nggak?” Tanya Ervan sambil meneliti wajah teman-temannya satu persatu. Hanya Nurdin yang tampak masih berani.
“Masuk aja, Van. Kita kan udah bayar DP. Lagian, kalo nggak disi kita mau dimana lagi?”
“Ah, yang berani kan lo doang, Din. Lo aja masuk sendiri!” Kata Ernest.
“Trus, lo mau tidur dimana? Koridor yang banyak lukisanya begini apa di emperan penginapan?”
“Oke, kita masuk aja. Siapa tau di dalem nggak seserem yang kita bayangin.” Ernest menengahi setelah dia berhasil mengalahkan keragu-raguannya. “Semua, baca do’a!”
Hati-hati mereka masuk ke kamar nomor 13 itu. Ernest dan Sakti berjalan menunduk, sementara Nurdin sok berani melihat sekeliling kamar yang hanya diterangi lampu lima watt.
“Semoga itu Cuma lukisan, semoga yang serem Cuma itu doang…,” doa Nurdin dalam hati.
“Pantesan ghostbuster local sering kemari nyariin penampakan. Taunya, emang serem begini…,” keluh Ervan, sambil melihat-lihat sekeliling kamar itu.
Perabotan dikamar itu memang terkesan tua tua dan klasik. Banyak lukisan tergantung di dindingnya. Tempat tidurnya terbuat dari besi dengan kasur yang lumayan tebal, tapi tentu nggak cukup untuk berempat.
“Gue merinding nih,” keluh Ervan.
“Tempatnya sih cukup nyaman kalo buat tidur.”
“Nyaman gimana, Din? Baunya kemenyan begini. Padahal, ini kan bukan malem Jum’at kliwon.”
“Jangan bawa-bawa nama Kliwon dong, Van. Dia kan temen gue.”
“Sorry deh, Din.”
“Nenek-nenek itu ngeliatin kita terus…,” Ernest yang mencoba mengangkat kepala menunduk lagi. Dia dan Sakti sudah tertekuk di tempat tidur.
“Bulu kuduk gue berdiri, nih.” Ervan mengeluh lagi.
“Kasih bangku biar duduk, Van. Kasian kalo dia kelamaan berdiri. Ntar pegel,” jawab Nurdin asal.
“Sakti…, lo bisa tidur, nggak?”
“Nggak, Din. Gue takut.”
“Kalo lo, Nest?”
“Boro-boro deh, Din. Mana bias gue tidur kalo situasinya begini?”
Lampu lima watt itu meredup. Sesaat terang lagi. Tapi detik delanjutnya, lampu itu malah padam.
“Senter tadi di ransel siapa?”
“Di ransel gue, Din.”
Nurdin meraba-raba tempat tasnya diletakan, mencari ransel milik Sakti. Tapi sampai kebosanan mencari, ransel itu tidak ditemukan juga. “Dimana sih ransel lo, Sak?”
“Di punggung gue..,”
“Lo ngomong kek daritadi!” Nurdin langsung menjitak kepala Sakti yang ditemukannya di sela kegelapan.
“Pantesan tempat tidurnya penuh banget. Lo ngajak-ngajak ransel, sih,” omel Ervan yang tersudut, persis berdampingan dengan besi.
“Gue juga ngajak ransel gue, Van.” Timpal Ernest.
“Pantesan…! Pantesan…! Tega banget lo!”
“Cariin senternya dong, Sak.”
Sakti menurut, mencoba memberanikan diri mencari tempat senter yang ditaruh di ranselnya. Lalu, ia membagi  keempat senter itu pada temannya. Dia sendiri memegang satu.
Hujan diluar terdengar sangat jelas. Beberapa kali kilat menyambar menerangi wajah mereka dan menyorot jelas wajah nenek-nenek dalam lukisan. Di saat-saat takut begitu, mereka merasa semakin diperhatikan oleh sang nenek tadi.
TENG…TENG..TENG…
“Udah jam dua belas. Mendingan kita tidur, terus besok check out abis Subuh.”
“Iya deh, Van. Semoga disini Subuhnya jam tiga pagi.” Nurdin bangun dari tempat tidur yang terasa sangat sempit itu dan menyalakan senternya.
“Mau kemana, Din?” Tanya Ervan.
“Ke kamar mandi. Lo mau ikut?”
“Makasih deh, laen kali aja.”
Nurdin sendirian mencari wujud kamar mandi sementara tiga temannya. Meringkuk di atas tempat tidur bersama dua buah ransel besar. Dia yakin, temen-temannya nggak akan bisa tidur dengan ketakutan seperti itu. Dia juga sebetulnya takut, tapi dia malu mengakuinya, karena semua temannya sudah penakut. Kalau semua takut, mereka akan terlunta-lunta di suasana hujan.
Kamar mandi itu juga gelap seperti ruangan kamar tadi. Dengan bantuan cahaya senter, Nurdin mencari tahu apa saja fasilitas kamar mandi tersebut. Ternyata, benda yang cukup mewah di kamar mandi itu hanya sebuah wastafel dengan sebuah cermin diatasnya. Nurdin membuka keran tersebut, bermaksud mencuci muka.
“Wua…!”
“Eh Nurdin, tuh! Din…! Lo kenapa, Din?!”
Mendengar teriakan histeris Nurdin, ketigatemannya berlarian ke kamar mandi.
“Din, lo nggak pa-pa kan?” Tanya Sakti begitu melihat Nurdin dikolong wastafel.
“Lo liat apaan, Din?”
“D... darah. A… ada darah,” jawab Nurdin terbata.
“Hah, darah?! Dimana, Din?”
“Di… keran, Van…,” Nurdin menunjuk keran wastafel yang ada tepat diatasnya.
Ervan memeriksa keran itu, dan mengucurkan airnya. “Nggak ada apa-apa, Din. Ini cumin air biasa. Coba lo liat.”
“Ogah! Hiy…, nggak lagi-lagi, deh!”
“Kok jadi derem kayak di film-film, ya? Gue jadi makin me….”
“Hi…hi…hi…hi…”
“Ah, lo jangan ngetawain gue dong, Van,” omel Nurdin.
“Siapa yang ngetawain lo? Sakti, kali.”
“Boro-boro ketawa, Van. Gue kan lagi ngomong. Ernest, kali?”
“Mana bisa gue ketawa di saat-saat kayak begini? Gue takut…”
                “Terus….”
                Mereka merasakan bulu kuduk mereka makinmeremang. Saat ini yang paling bisa mereka lakukan hanya bersembunyi di kolong wastafel, tanpa melihat ke sekeliling.
                “Seandainya disini ada Doraemon…,” khayal Ernest di sela ketakutannya.
                “Gue pengen keluar dari sini…,” pinta Sakti lirih. “Siapapun tolong gue…! Spiderman, Batman, Superman, Scooby Doo, Sinchan, Conan…”
                “Kita sampe pagi nih disini?”
                “Maunya sih keluar, Din. Tapi, gimana caranya?” Ervan malah balik bertanya.
“Hi..hi..hi..”
TENG!!!
Suara-suara itu lagi.
“Van, gue takut…,” Ernest memluk tangan Ervan erat.
“Gue juga. Tapi kita mesti keluar dari sini. Kita nggak boleh kalah sama mereka.”
Kilat menyambar lagi, menerangi kamar mandi itu. Saat itulah, Sakti melihat sosok putih denagn rambut panjang di depan pintu. Tanpa bicara, dia membenamkan kepalanya diantara kaki dan tangan teman-temannya yang terlipat.
“Ada apaan, Sak?” Tanya Ervan penasaran.
“P…Putih.”
“A…ada apaan? Lo j…jangan kayak di iklan begitu, dong.”
“B.. beneran, Van. A… ada p… putih-putih d… di…,” Sakti pingsan seketika.
“Sakti… lo nggak solider banget, sih. Daritadi kan kita takut bareng-bareng, kenapa lo pingsan duluan?” Nurdin merutuk pelan.
“Pkoknya kita mesti keluar! Kita nggak boleh diem di kamar mandi begini. Kalo kita bangun rame-ramen terus jalan, paling setannya juga takut,” usul Ervan.
“K… k… kalo ternyata… setannya nggak takut?”
“Paling kitanya yang takut. Ya, kan?”
Ernest mengangguk setuju. Tiba-tiba saja keberaniannya tumbuh. “Oke, kalo satu orang penakut, nggak bakalan bisa berbuat apa-apa. Tapi tiga orang penakut, bisa jadi berani. Ayo, Jack!”
Sok berani, Ernest bangkit dari duduknya. Dia tahu dihadapannya, diatas wastafel ada cermin, tapi dia menjerit saat cahaya senternya mengarah ke cermin itu. Ada sesosok dengan jubah hitam berada tepat dibelakangnya. Jelas, itu bukan Ervan, Nurdin, apalagi Sakti.
“A…!”
“Cut!”
Lampu menyala lagi, terang benderang. Ervan, Ernest, dan Nurdin menarik napas lega.
“Hebat! Akting ketakutan kalian bagus banget. Natural. Cuma tadi Ernest teriaknya kurang lepas. Bagusnya kayak Nurdin tadi, Nest. Tapi udah cukup bagus, kok. Sekarang kalian boleh istirahat dulu.”
“Mas, Jay, kok nggak takut sih jadi sutradara film serem? Kami aja yang main udah merinding beneran,” Tanya Ervan pada orang yang tadi memuji mereka. Jay, seorang sutrada film terkenal.
“Kan udah biasa,” jawab Jay, lalu dia berpaling pada Sakti yang masih khusyuk dibawah wastafel. “Sak, Sakti, bangun! Makan dulu!”
“Mh…, udahan ya syutingnya? Maaf deh, Mas Jay. Aku ngantuk banget.”
“Nggak pa-pa, Sak. Akting pingsan lo bagus banget.” Jay membantu Sakti berdiri.
“Gue nggak nyangka kalo ternyata rendeman kertas krep merah bias jadi kayak darah beneran. Untung lo punya ide, Sak, jadi gue nggak perlu keluar duit banyak buat bikin darah-darahan begitu. Dan gue juga yakin kalo film ini bakal laris dipasaran. Orang sekarang kan pada demen sama cerita begini. Mau aja mereka dibodohin sama sesereman begini.”
“Lah, kan kita juga yang bodohin mereka, Jay,” kata Rudi, asistennya Jay.
“Yang penting kita untung. Gitu kan, Jack?”
“Yo-a…!” teriak seluruh kru berbarengan.
Istirahat selesai, syuting dimulai lagi. Penata cahaya, kamera, dan suara sudah siap sejak tadi.
“Ulang dari Ernest teriak. Semua siap?”
Lampu kamar mandi digelapkan lagi. Seorang figuran dengan jubah hitam berdiri di belakang Ernest.
“Action!”
“A…!”  

Senin, 02 Januari 2012

Pak Kalit Absen Part II


                Pak Kalit absen lagi. Dikelas lain yang jam pertamanya olahraga, anak-anaknya bersukaria merayakan hari kemerdekaan berekspresi. Semua siswa bebas berolahraga apa saja yang menjadi hobinya.yang biasa mengidap stress kaerna tidak membawa kaos olahraga kayak Budiman, sembuh mendadak dan bebas petantang-petenteng di lapangan basket.
                Dua minggu kemudian…
                “Wah, Pak Kalit kok belom masuk juga?”
                “Tiba-tiba aku digerayangi kerinduan kepada Pak Kalit…,” kata Budiman, berlagak bak seorang pujangga.
                “Huuu… garing!”
                “Suer!” Budiman mengacungkan jari lambang viktori. “Gue kok ngerasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan gue disekolah ini. Sesuatu yang dramatis. Nggak lagi deg-degan karena nggak bawa kaos…”
                “Itu berarti,” Sahut Endoy. “Pantat lo mulai bisulan lagi dan mulai rindu untuk ditendang lagi…”
                Budiman melotot kearah Endoy. “Dasar pemerhati bisul!”
                Anak-anak mulai kasak-kusuk ketika sepekan berikutnya Pak Kalit tetap absen. Budiman berinisiatif untuk menanyakan kepada para guru. Tapi para guru tidak mendapat keterangan jelas dari Pak Kalit mengenai ketidak hadirannya selama itu. Hanya Pak Hamid yang tahu secara persis latar belakang raibnya Pak Kalit beberapa pekan ini.
                “Ada sesuatu yang dahsyat yang sedang terjadi pada diri Pak Kalit, Tapi Beliau minta dirahasiakan,” Kata Pak Hamid, dengan mimik penuh misteri. “Nanti juga kalian tahu.”
                “Mungkin dia lagi ngasah taringnya, biar lebih tajam…,” Bisik seorang siswa ke telinga Budiman.
                “Ah, ngarang aja lo,” sanggah Budiman.
                “Mungkin aja dia lagi berlatih untuk bisa lebih manusiawi terhadap kita-kita.”
                Anak-anak mengusulkan untuk bersilaturahmi kerumah Pak Kalit. Tapi untuk mengetahui keadaan Pak Kalit, diusulkan ada tim advance yang melakukan survey terlebih dahulu. Budiman setuju.
                “Tapi gue minta dua atau tiga orang pendamping,” usulnya.
                “Emang kenapa? Elo kan udah punya pendamping; itu jin qorin elo.”
                “Bukan begitu. Kalo gue diapa-apain sama Pak Kalit kan ada temen untuk mati bareng.”


                Sepakat. Tim advance untuk komite pencari Pak Kalit terbentuk, dengan ketua Budiman sang ketua kelas dan anggota Endoy, Ujang, Neneng, dan Nining. Siang itu mereka sedang menyusuri gang sempit yang gersang, bau, dan berkelok-kelok di bilangan Bukit Duri Tanjakan.
                “Nih daerah malang amat sih,” keluh Budiman.
                “Emang kenapa?” Sahut Endoy.
                “Lo lihat aja namanya; udah Bukit, ber-Duri, Tanjakan pula…”
                Ditambah lagi tak ada seorang pun yang tahu rumahnya Pak Kalit. Warga daerah yang ditemui Budiman CS kebanyakan bilang “nggak tahu”, “siapa tuh Pak Kalit” atau “Pak Kalit? Itu nama orang apa nama burung?”. Ada yang kasih jawaban agak mending: “Ini terus aja lurus, jangan belok-belok.” Tapi buntutnya bikin panas ubun-ubun: “Pas nemuin tembok, tabrak aja!”
                Mereka terus berjalan, bak serombongan kafilah nyasar di tengah gurun sahara.
                “Kita istirahat dulu yuk,” Usul Neneng.
                “Kita shalat dulu, udah masuk zuhur nih,” Sahut Nining sambil melihat jam tangannya.
                Sepakat. Mereka mencari masjid atau musala. Dan ketika mereka menemukan musala dipojok sebuah gang, keluhan Budiman mengalun lagi.
                “Ini musola atau kandang ayam?”
                “Sajadahnya udah pada gerepes begini, banyak tikusnya kali ya?”
                “Sudahlah,” Neneng dan Nining menengahi, “Yang penting kan kita bisa shalat.”
                Usai shalat, tim advance melanjutkan perjalanannya. Baru saja mereka meninggalkan musala beberapa langkah, Nining mengusulkan sesuatu.
                “Eh ada penjual makanan keliling tuh, kita beli yuk!”
                “Aku setuju. Cacing-cacing diperutku udah merintih-rintih daritadi,” cetus Ujang.
                “Pake alasan yang higienis dong, Jang”, Sungut Budiman. “Oke, kalo gue selain lapar karena yang jual pake jilbab, jadi makanannya pasti dijamin halal.”
                “Eh, bener juga,” Sahut Neneng.
                Tim pun merubungi sang penjual makanan keliling.
                “Bu, nggak jual burger kombinasi getuk ya?” Tanya Endoy.
                Si ibu tersenyum, “Adik ini ada-ada saja. Eh, kalian kok tidak sekolah? Madol ya?“
               
                “Nggak, Bu,” jawab Budiman sambil mengunyah sepotong bakwan. “Kami sih pelajar baik-baik. Nggak pernah madol. Sekarang ini kami lagi mencari rumah guru kami, namanya Pak Kalit.”
                Si ibu mengernyitkan keningnya. “Pak Kalit? Nama lengkapnya siapa?”
                “Pak Simanungkalit, guru olahraga SMA Nusantara. Ibu kenal?”
                “Subhanallah….,” si ibu bergumam sambil tersenyum. “Mimpi apa ya saya semalam?”
                “Nggak tahu, Bu,” Jawab Endoy. “Saya kan nggak tidur sama ibu…”
                Budiman menginjak sepatu Endoy sambil mendelik.
                “Nama saya Sakinah,” ujar si ibu memperkenalkan diri. “Saya ini istrinya Pak Ibrahim Simanungkalit, guru yang kalian cari…”
                Wajah tim advance melongo secara bergantian.
                “Masya Allah,” ujar Neneng. “Ini namanya pucuk dicinta…”
                “Nasi Ulam tiba,” Sambar Endoy yang langsung kena cubit Budiman.
                “Wah Kami Surprise banget nih, Bu,” Kata Budiman. “Nggak nyangka bisa bertemu dengan ibu.”
                Perjalanan pencarian Tim Advance pun berakhir dengan sukses. Mereka mengekor dibelakang Bu Sakinah yang menjunjung tampah di kepalanya dan menjinjing kantong keresek. Rumah Pak Kalit ternyata terletak dibelakang musala tempat mereka shalat tadi.
                “Mari silakan masuk,” Bu Sakinah berdiri didepan pintu sebuah rumah semi gubuk. Disekelilingnya rumah-rumah serupa berjajar, berdesak-desakan, tanpa tata ruang yang memadai. Ada rumah yang sedang menggeber “ Mbah Dukun”-nya Alam. Di depannya ibu-ibu sedang mencari kutu, membikin barisan berbanjar. Anak-anak kecil bertelanjang dada sedang bermain kejar-kejaran.
                Tim advance saling berpandangan. Seperti inikah rumah guru yang paling mereka takutkan itu? Dan pekerjaan istrinya…?
                “Silakan masuk, kakak-kakak,” seorang anak berbaju koko, berkopiah, dengan tas dipunggungnya menyambut tim advance.
                “Salim sama kakak-kakaknya, Salman,” Kata Bu Sakinah. Salman menyalami satu per satu Budiman CS.
                “Salaman pergi ngaji dulu ya, Kak,” Ujar Salman. “Assalamualaikum….”
                Tim advance menjawab salam dengan kompak. Tapi mereka belum juga berani masuk.
                “Elo aja yang masuk Ndoy,” bisik Budiman. “Badan lo kan alot, kalo digarot nggak enak.”
                Endoy memonyongkan mulutnya. “Ogah, elo aja. Darah lo kan manis, Pak Kalit pasti suka.”
                “Lho, kok belum masuk juga?” Tanya Bu Sakinah.
“I-iya, Bu,”  Budiman akhirnya memberanikan diri untuk masuk terlebih dahulu, diikuti yang lain.
“Sebentar ya, ibu panggilkan Bapak.” Bu Sakinah kembali ke dalam.
Anak-anak menebak-nebak apa sesuatu yang dahsyat yang sedang terjadi pada diri Pak Kalit. Tak lama, Bu Sakinah keluar diikuti Pak Kalit yang memakai kain sarung, berbaju koko, dan berkopiah. Anak-anak takjub melihatnya. Yang mereka tahu selama ini Pak Kalit itu non-Muslim.
“Assalamualaikum, anak-anak,” suara ngebass Pak Kalit terdengar menggema.
“Wa’alaikumsalam, Pak.”
“Kalian pasti bertanya-tanya ya,” sambung Bu Sakinah. “Kenapa Pak Kalit nggak masuk beberapa Pekan ini?”
Anak-anak mencoba tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Ibu sedang merasakan saat-saat paling membahagiakan dalam hidup ibu,” suara Bu Sakinah terdengar bergetar, matanya berkaca-kaca. “Akhirnya Allah memberikan hidayah-Nya kepada Bapak…”
Suasana tiba-tiba menjadi haru. Pak Kalit tampang tenang dengan wajah bercahaya, tidak lagi menakutkan seperti yang selama ini dikenal anak-anak.
“Sekarang nama Bapak ditambah,” suara Pak Kalit mengandung kebanggaan. “Jadi Ibrahim Simanungkalit. Ini karaena akhirnya Bapak menemukan keberanian seorang laki-laki dalam islam pada diri Nabi Ibrahim. Kalian tahu, Bapak selama ini paling takut melihat darah…”
“Kenapa Bapak tidak segera mengumumkan berita gembira ini?” Tanya Neneng.
“Iya, Pak,” Sahut Budiman. “Anak-anak pasti bangga mendengarnya.”
“Tentu Saja,” Pak Kalit tersenyum. (Itulah pertama kali anak-anak menyaksikan guru olahraga mereka tersenyum). “Tapi, Bapak kira pengumuman itu kurang terasa berkahdan hikmahnya kalau Bapak belum mengikuti jejak Nabi Ibrahim yang disunahkan nabi kita. Sunah yang melambangkan keberanian seorang laki-laki, yang membuat ketakutan Bapak pada darah hilang sama sekali.”
“Apa itu, Pak?” Tanya anak-anak berbarengan.
“Dikhitan,” jawab Bu Sakinah. “Bapak nggak masuk selama beberapa pekan ini karena dikhitan…”


“Apa? Pak Kalit disunat?” pertanyaan itu segera merembet keseluruh pelosok SMA Nusantara, komentar pun berlesatan.
“Pak Kalit disunat? Emang masih bisa? Apa kaga alot tuh?”
“Udah! Udah!” Budiman menetralisir setiap komentar yang muncul. “Elo-elo jangan pada ngarang  komentar yang neko-neko deh. Pak Kalit sekarang sudah jadi seorang Muslim, jadi beliau harus disunat.”
“Bukan begitu , Bud,” celetuk seorang siswa. “Kita-kita kan ngeri ngebayanginnya. Gimana motongnya tuh…?”
“Ah, norak lo pada,” Endoy ikut nimbrung. “Nabi Ibrahim aja disunat waktu umurnya udah tua. Emang Pak Kalit nggak boleh ngikutin Nabi Ibrahim?”
“Lagian,” sahut Ujang. “Sekarang ini teknologi persunatan sudah makin canggih. Nggak usah lagi pakai pisau, karena sudah ada teknologi laser.”
“Dijamin nggak meleleh,” cetus Budiman mengakhiri kehebohan anak-anak dikelasnya.
Dan, Senin pagi itu jam olahraga kembali dipimpin oleh Pak Kalit, yang kelihatan lebih gagah dan berwibawa.
“Mulai saat ini, panggil nama saya Ibrahim!” kata Pak Kalit, eh, Pak Ibrahim. Anak-anak mengangguk tanda mengerti.
“Siapa yang tidak bawa kaos?!” Tanya Pak Ibrahim dengan galaknya.
Budiman cengar-cengir ditempatnya, sambil menarik-narik kaosnya, memamerkannya kepada teman-temannya yang lupa membawa kaos.
“kalian tahu hukuman buat yang tidak membawa kaos?” Tanya Pak Ibrahim.
Anak-anak terhukum itu menggeleng dengan pasrahnya.
“Baca istighfar 5.000 kali sambil lari keliling lapangan 10 kali! Cepat laksanakan!”

Minggu, 01 Januari 2012

Pak Kalit Absen Part I


Ikan Pepes, Kamar uap, Gentong burket! Apa lagi?! Sambil merutuk-rutuk dalam hati, Budiman mencaricari istilah lain untuk membandingkan keadaan didalam bus yang sedang ditumpanginya.
“Yang sakit! Yang sakit!” kenek bus berteriak. Ya, Cuma Negara yang pemimpinnya pada sakit yang tega membiarkan rakyatnya jadi ikan pepes di kamar uap yang kayak gentong burket ini! Masa memberikan sebuah kenyamanan dalam angkutan umum saja tidak becus, padahal kan ini menyangkut langsung hajat hidup rakyat yang dipimpinnya.
“Yang sakit! Yang sakit!” teriak kenek bus, tepat didepan muka Budi.
“Gue nggak sakit!” Sembur Budi, jengkel dengan cara berbahasa sang kenek. Seenaknya saja dia memberitahu penumpang yang mau turun di rumah sakit dengan sebutan “Yang Sakit”.
“Eh, Bud, Kenapa cembetut aje?” Tanya Endoy, teman sekelas Budiman, setelah mereka berhasil lepas dari cengkeraman bus neraka itu. “Pantat lu bisulan lagi ye?”
Budi mendelik. “Bisul lo Tanya! Tanya kek yang lebih prospek. Soal ekonomi dunia, ekonomi negeri kita!”
“Wah, gue nggak ngerti ama yang begituan Bud.”
“Tentu saja, lo kan ngertinya Cuma sama bisul”
“Iya, soalnya gue khawatir pantat lo bakal ditendang dua kaki lagi sama Pak Kalit, gara-gara lu nggak bawa…..”
“Kaos Olahraga!” Budi terpekik kaget, matanya sampai melotot. “Kiamat! Gue nggak bawa kaos olahraga lagi…!”
“Nah, gue bilang apa kan?”
Mendadak Budi merasakan di dalam perutnya ada dua ekor anak kucing yang sedang berkelahi. “Aduhh, kenapa sih nama Pak Kalit identik sama kaos olahraga…?”
“Lha, iya dong, pan dia guru olahraga. Kalo yang identik sama mikroskop tuh guru kimia….”
Perut budi semakin melilit tidak karuan. “Elo bawa kaos berapa, Ndoy?” Tanya Budi sambil meringis-ringis.
“Dua…”
“Ha…. Buat gue satu kan?!” Budi berjingkrak kegirangan.
“Boleh” Sahut Endoy tanpa ekspresi. “tapi yang satu itu kaos dalem, dan nggak ada cap sekolah kita.”

Pengin rasanya Budi mencubit pipi Endoy sekuat-kuatnya. “Kaos dalem sih nggak usah diceritain!” Budi merutuk-rutuk, membuat isi perutnya ingin segera mengalir sampai jauh.
Budiman terpaksa menumpah ruahkan isi perutnya di WC. Maksudnya sih sekalian ngumpet, karena jam pertama hari itu adalah olahraga. Urusannya membuat Budi makin senewen karena dirinya adalah ketua kelas. Perihal kaos olahraga bisa bikin merosot wibawa dan karisma dirinya sebagai penguasa kelas, kan terlalu pahit untuk bisa diterima dengan lapang dada. Apa lagi Pak Kalit, sapaan ringkas untuk Pak Simanungkalit, adalah guru olahraga yang wajahnya nggak punya darah, kayak wajah vampire pada umumnya gitulah.
“Budiman! Budiman!” sebuah teriakan membuat konsentrasi Budiman buyar. Untung ‘Pengeboman’ ke ‘Pearl Harbour’ sudah melewati detik-detik yang menegangkan. Jadi, dia bisa segera membuka pintu WC.
“Ada apa sih teriak-teriak, Jo? Batere baru ya?”
“Kamu dicari Pak Hamid,” Kata Bejo, teman sekelas Budiman yang asli Purworejo.
“Lo kok tau gue ada disini?” Tanya budi. “penciuman lu tajam juga.”
“Gimana nggak tajam, wong dari sini saja baunya sudah bikin aku mau muntah.”
Budi tersenyum sambil melirik pintu WC yang masih menganga. “Yaudah sono, nanti gue nemuin Pak Hamid. Eh lo bawa kaos berapa?”
“Tiga.”
“Apa?!” Mata Budiman berbinar-binar. “Lo harus pinjemin gue satu!”
“Nggak bisa!”
“Harus bisa, kan gue ketua kelas. Elo harus nurutin semua permintaan gue!”
 “Wah, gimana ya?” Bejo berpikir sambil mengusap-usap dungde alias hidung gedenya. “Kaos ku kan Cuma satu.”
“Tadi lo bilang tiga, gimana sih?!”
“Iya, yang satu kaos olahraga…”
“Yang dua lagi?” Serobot Budiman tidak sabar.
“Yang dua lagi kaos kaki…”
Budiman murka. “Hhhh… gue garot lo!”
Bejo segera melarikan diri, tapi dia masih sempat berteriak “Kalau kamu mau kaos, ada tuh di warteg sebelah, tapi kaos lampu buat petromaks….!”
Budiman sudah membayangkan wajah dingin Pak Kalit lengakp dengan tarig yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Olahraga tanpa kaos, membuat Pak Kalit menganggap dirinya mangsa empuk yang siap diisap darahnya sampai tandas.
Budiman tertegun didepan pintu ruang guru. “Kemari ,Bud,” Pak Hamid menyuruh Budiman masuk.
“Ada Apa, Pak?”
“Kamu atur teman-temanmu ya, olahraga yang benar. Itu lapangan basket harus berfungsi sebagai lapangan basket, jangan jadi lapangan golf.”
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Pak Kalit Absen”
A-P-A….? Budiman seperti tak menjejak di bumi. Ia bagai mendengar suara durian runtuh dari mulut Pak Hamid.
“MERDEKAAA…!” teriak Budiman sekeras-kerasnya. Ia berlari ke lapangan basket, lalu membuat selebrasi bak David Beckham habis mencetak gol. Teman-temannya yang sudahmenunggu daritadi, hanya terbengong-bengong menyaksikan kelakuan ketua kelas mereka itu.
“Bud! gimana nih urusan olahraga?” Tanya teman-temannya.
Budiman tersenyum penuh kemenangan. “Terserah lo-lo pada. Mau main basket, senam, bola voli, main catur, bola bekel… TERSERAH!!!”
“Lho, emang Pak Kalit…?”
“Pak Kalit absen, everybody…”
“Pak Kalit absen? HOREEE….!”