Check This..


Jumat, 06 Januari 2012

Kamar Nomor 13


“Maaf, semua kamar disini udah penuh. Yang tersisa hanya kamar nomor 13.”
                Ervan berpikir sebentar. “Nggak pa-pa deh, Mbak,” katanya kemudian.
                “Sebentar ya, Dik.” Petugas resepsionis mengambilkan sebuah kunci dari laci mejanya.
                “Van, disitu katanya serem?” Tanya Ernest sambil menarik tangan Ervan, menjauh dari meja resepsionis.
                “Pindah aja yuk, Van. Cari penginapan lain,” bujuk Sakti gemetar.
“Pindah kemana lagi? Sekarang kan udah malem, lagian diluar ujan gede. Kalian mau kita makin kesasar?”
Sakti memperhatikan suasana diluar penginapan bermodel klasik itu. Hujan yang sedang deras-derasnya mengguyur bumi, dimeriahkan oleh sambaran petir yang menggelegar dan menggetarkan kaca-kaca. Sakti bergidik ngeri.
“Lo takuyt? Masa tampilan berjenggot begini takut sama setan?” ejek Nurdin. “Ayolah, jangan takut! Sampe sana kita langsung tidur, biar kita nggak tau kalo ada setan yang godain kita.”
“Ah, lo sok berani, Din. Kalo lo dikasih liat penampakan gimana?”
“Ngg… gimana ya? Paling gue kabur.”
“Bagaimana? Jadi menginap?” Tanya resepsionis.
“Jadi, Mbak. Eh, kalian diem disini. Awas kalo pada kabur!” Ervan menghampiri resepsionis dan mengambil kunci kamar 13. “Ayo, Jack!”
Ragu-ragu, Sakti dan Ernest mengangkat ransel mereka dan berjalan mengikuti Ervan dan Nurdin. Ransel yang biasanya ringan, kali ini terasa bagai membawa sepotong rel kereta api. Mau nggak mengikuti, bisa diledek pengecut lagi. Lagipula, mereka mau tidur dimana selain dikamar 13 itu?
“Sanatai aja sih, Jack! Palingan juga nggak serem-serem amat. Lo liat kan tadi, mbak-mbaknya cakep. Nggak mungkin ada orang secakep itu kalo tempatnya kelewat nyeremin. Kecuali…..”
“Kecuali apa, Din?”
“Kecuali kalo resepsionis tadi masih sebangsa setanah air sama hantu. Alias, dia itu kuntilanak,” ujar Nurdin tanpa dosa. Dan tanpa dosa pula dia terpingkal melihat Sakti dan Ernest makin gemetar ketakutan.
“Ugh, mentang-mentang agak di pedesaan, tapi modal sedikit nggak ada salahnya kan? Lampu aja diirit-irit banget,” gerutu Sakti kesal.

Penginapan ini agak berbeda dengan penginapan lain yang biasa mereka tumpangi kalau mereka kemalaman sebelum memulai pendakian gunung. Kamar-kamarnya berderet dikanan-kiri  menghadap sebuah koridor dengan pencahayaan yang hemat. Kamar nomor 13 itu terletak diujung koridor itu. Ernest dan Sakti saling berpegangan dan sesekali meraba tengkuk mereka.
“Oke, kita masuk, ya?” Ervan membuka pintu kamar itu dengan hati-hati. “Satu…dua… ti…”
“Wua…!” jerit mereka berbarengan saat pintu terbuka. Lukisan bergambar wanita tua menyambut mereka.
“Van, gue takut. Suer,” kata Sakti gemetar. Pegangannya pada Ernest makin menguat.
“Gimana nih? Masuk nggak?” Tanya Ervan sambil meneliti wajah teman-temannya satu persatu. Hanya Nurdin yang tampak masih berani.
“Masuk aja, Van. Kita kan udah bayar DP. Lagian, kalo nggak disi kita mau dimana lagi?”
“Ah, yang berani kan lo doang, Din. Lo aja masuk sendiri!” Kata Ernest.
“Trus, lo mau tidur dimana? Koridor yang banyak lukisanya begini apa di emperan penginapan?”
“Oke, kita masuk aja. Siapa tau di dalem nggak seserem yang kita bayangin.” Ernest menengahi setelah dia berhasil mengalahkan keragu-raguannya. “Semua, baca do’a!”
Hati-hati mereka masuk ke kamar nomor 13 itu. Ernest dan Sakti berjalan menunduk, sementara Nurdin sok berani melihat sekeliling kamar yang hanya diterangi lampu lima watt.
“Semoga itu Cuma lukisan, semoga yang serem Cuma itu doang…,” doa Nurdin dalam hati.
“Pantesan ghostbuster local sering kemari nyariin penampakan. Taunya, emang serem begini…,” keluh Ervan, sambil melihat-lihat sekeliling kamar itu.
Perabotan dikamar itu memang terkesan tua tua dan klasik. Banyak lukisan tergantung di dindingnya. Tempat tidurnya terbuat dari besi dengan kasur yang lumayan tebal, tapi tentu nggak cukup untuk berempat.
“Gue merinding nih,” keluh Ervan.
“Tempatnya sih cukup nyaman kalo buat tidur.”
“Nyaman gimana, Din? Baunya kemenyan begini. Padahal, ini kan bukan malem Jum’at kliwon.”
“Jangan bawa-bawa nama Kliwon dong, Van. Dia kan temen gue.”
“Sorry deh, Din.”
“Nenek-nenek itu ngeliatin kita terus…,” Ernest yang mencoba mengangkat kepala menunduk lagi. Dia dan Sakti sudah tertekuk di tempat tidur.
“Bulu kuduk gue berdiri, nih.” Ervan mengeluh lagi.
“Kasih bangku biar duduk, Van. Kasian kalo dia kelamaan berdiri. Ntar pegel,” jawab Nurdin asal.
“Sakti…, lo bisa tidur, nggak?”
“Nggak, Din. Gue takut.”
“Kalo lo, Nest?”
“Boro-boro deh, Din. Mana bias gue tidur kalo situasinya begini?”
Lampu lima watt itu meredup. Sesaat terang lagi. Tapi detik delanjutnya, lampu itu malah padam.
“Senter tadi di ransel siapa?”
“Di ransel gue, Din.”
Nurdin meraba-raba tempat tasnya diletakan, mencari ransel milik Sakti. Tapi sampai kebosanan mencari, ransel itu tidak ditemukan juga. “Dimana sih ransel lo, Sak?”
“Di punggung gue..,”
“Lo ngomong kek daritadi!” Nurdin langsung menjitak kepala Sakti yang ditemukannya di sela kegelapan.
“Pantesan tempat tidurnya penuh banget. Lo ngajak-ngajak ransel, sih,” omel Ervan yang tersudut, persis berdampingan dengan besi.
“Gue juga ngajak ransel gue, Van.” Timpal Ernest.
“Pantesan…! Pantesan…! Tega banget lo!”
“Cariin senternya dong, Sak.”
Sakti menurut, mencoba memberanikan diri mencari tempat senter yang ditaruh di ranselnya. Lalu, ia membagi  keempat senter itu pada temannya. Dia sendiri memegang satu.
Hujan diluar terdengar sangat jelas. Beberapa kali kilat menyambar menerangi wajah mereka dan menyorot jelas wajah nenek-nenek dalam lukisan. Di saat-saat takut begitu, mereka merasa semakin diperhatikan oleh sang nenek tadi.
TENG…TENG..TENG…
“Udah jam dua belas. Mendingan kita tidur, terus besok check out abis Subuh.”
“Iya deh, Van. Semoga disini Subuhnya jam tiga pagi.” Nurdin bangun dari tempat tidur yang terasa sangat sempit itu dan menyalakan senternya.
“Mau kemana, Din?” Tanya Ervan.
“Ke kamar mandi. Lo mau ikut?”
“Makasih deh, laen kali aja.”
Nurdin sendirian mencari wujud kamar mandi sementara tiga temannya. Meringkuk di atas tempat tidur bersama dua buah ransel besar. Dia yakin, temen-temannya nggak akan bisa tidur dengan ketakutan seperti itu. Dia juga sebetulnya takut, tapi dia malu mengakuinya, karena semua temannya sudah penakut. Kalau semua takut, mereka akan terlunta-lunta di suasana hujan.
Kamar mandi itu juga gelap seperti ruangan kamar tadi. Dengan bantuan cahaya senter, Nurdin mencari tahu apa saja fasilitas kamar mandi tersebut. Ternyata, benda yang cukup mewah di kamar mandi itu hanya sebuah wastafel dengan sebuah cermin diatasnya. Nurdin membuka keran tersebut, bermaksud mencuci muka.
“Wua…!”
“Eh Nurdin, tuh! Din…! Lo kenapa, Din?!”
Mendengar teriakan histeris Nurdin, ketigatemannya berlarian ke kamar mandi.
“Din, lo nggak pa-pa kan?” Tanya Sakti begitu melihat Nurdin dikolong wastafel.
“Lo liat apaan, Din?”
“D... darah. A… ada darah,” jawab Nurdin terbata.
“Hah, darah?! Dimana, Din?”
“Di… keran, Van…,” Nurdin menunjuk keran wastafel yang ada tepat diatasnya.
Ervan memeriksa keran itu, dan mengucurkan airnya. “Nggak ada apa-apa, Din. Ini cumin air biasa. Coba lo liat.”
“Ogah! Hiy…, nggak lagi-lagi, deh!”
“Kok jadi derem kayak di film-film, ya? Gue jadi makin me….”
“Hi…hi…hi…hi…”
“Ah, lo jangan ngetawain gue dong, Van,” omel Nurdin.
“Siapa yang ngetawain lo? Sakti, kali.”
“Boro-boro ketawa, Van. Gue kan lagi ngomong. Ernest, kali?”
“Mana bisa gue ketawa di saat-saat kayak begini? Gue takut…”
                “Terus….”
                Mereka merasakan bulu kuduk mereka makinmeremang. Saat ini yang paling bisa mereka lakukan hanya bersembunyi di kolong wastafel, tanpa melihat ke sekeliling.
                “Seandainya disini ada Doraemon…,” khayal Ernest di sela ketakutannya.
                “Gue pengen keluar dari sini…,” pinta Sakti lirih. “Siapapun tolong gue…! Spiderman, Batman, Superman, Scooby Doo, Sinchan, Conan…”
                “Kita sampe pagi nih disini?”
                “Maunya sih keluar, Din. Tapi, gimana caranya?” Ervan malah balik bertanya.
“Hi..hi..hi..”
TENG!!!
Suara-suara itu lagi.
“Van, gue takut…,” Ernest memluk tangan Ervan erat.
“Gue juga. Tapi kita mesti keluar dari sini. Kita nggak boleh kalah sama mereka.”
Kilat menyambar lagi, menerangi kamar mandi itu. Saat itulah, Sakti melihat sosok putih denagn rambut panjang di depan pintu. Tanpa bicara, dia membenamkan kepalanya diantara kaki dan tangan teman-temannya yang terlipat.
“Ada apaan, Sak?” Tanya Ervan penasaran.
“P…Putih.”
“A…ada apaan? Lo j…jangan kayak di iklan begitu, dong.”
“B.. beneran, Van. A… ada p… putih-putih d… di…,” Sakti pingsan seketika.
“Sakti… lo nggak solider banget, sih. Daritadi kan kita takut bareng-bareng, kenapa lo pingsan duluan?” Nurdin merutuk pelan.
“Pkoknya kita mesti keluar! Kita nggak boleh diem di kamar mandi begini. Kalo kita bangun rame-ramen terus jalan, paling setannya juga takut,” usul Ervan.
“K… k… kalo ternyata… setannya nggak takut?”
“Paling kitanya yang takut. Ya, kan?”
Ernest mengangguk setuju. Tiba-tiba saja keberaniannya tumbuh. “Oke, kalo satu orang penakut, nggak bakalan bisa berbuat apa-apa. Tapi tiga orang penakut, bisa jadi berani. Ayo, Jack!”
Sok berani, Ernest bangkit dari duduknya. Dia tahu dihadapannya, diatas wastafel ada cermin, tapi dia menjerit saat cahaya senternya mengarah ke cermin itu. Ada sesosok dengan jubah hitam berada tepat dibelakangnya. Jelas, itu bukan Ervan, Nurdin, apalagi Sakti.
“A…!”
“Cut!”
Lampu menyala lagi, terang benderang. Ervan, Ernest, dan Nurdin menarik napas lega.
“Hebat! Akting ketakutan kalian bagus banget. Natural. Cuma tadi Ernest teriaknya kurang lepas. Bagusnya kayak Nurdin tadi, Nest. Tapi udah cukup bagus, kok. Sekarang kalian boleh istirahat dulu.”
“Mas, Jay, kok nggak takut sih jadi sutradara film serem? Kami aja yang main udah merinding beneran,” Tanya Ervan pada orang yang tadi memuji mereka. Jay, seorang sutrada film terkenal.
“Kan udah biasa,” jawab Jay, lalu dia berpaling pada Sakti yang masih khusyuk dibawah wastafel. “Sak, Sakti, bangun! Makan dulu!”
“Mh…, udahan ya syutingnya? Maaf deh, Mas Jay. Aku ngantuk banget.”
“Nggak pa-pa, Sak. Akting pingsan lo bagus banget.” Jay membantu Sakti berdiri.
“Gue nggak nyangka kalo ternyata rendeman kertas krep merah bias jadi kayak darah beneran. Untung lo punya ide, Sak, jadi gue nggak perlu keluar duit banyak buat bikin darah-darahan begitu. Dan gue juga yakin kalo film ini bakal laris dipasaran. Orang sekarang kan pada demen sama cerita begini. Mau aja mereka dibodohin sama sesereman begini.”
“Lah, kan kita juga yang bodohin mereka, Jay,” kata Rudi, asistennya Jay.
“Yang penting kita untung. Gitu kan, Jack?”
“Yo-a…!” teriak seluruh kru berbarengan.
Istirahat selesai, syuting dimulai lagi. Penata cahaya, kamera, dan suara sudah siap sejak tadi.
“Ulang dari Ernest teriak. Semua siap?”
Lampu kamar mandi digelapkan lagi. Seorang figuran dengan jubah hitam berdiri di belakang Ernest.
“Action!”
“A…!”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar