Check This..


Minggu, 01 Januari 2012

Pak Kalit Absen Part I


Ikan Pepes, Kamar uap, Gentong burket! Apa lagi?! Sambil merutuk-rutuk dalam hati, Budiman mencaricari istilah lain untuk membandingkan keadaan didalam bus yang sedang ditumpanginya.
“Yang sakit! Yang sakit!” kenek bus berteriak. Ya, Cuma Negara yang pemimpinnya pada sakit yang tega membiarkan rakyatnya jadi ikan pepes di kamar uap yang kayak gentong burket ini! Masa memberikan sebuah kenyamanan dalam angkutan umum saja tidak becus, padahal kan ini menyangkut langsung hajat hidup rakyat yang dipimpinnya.
“Yang sakit! Yang sakit!” teriak kenek bus, tepat didepan muka Budi.
“Gue nggak sakit!” Sembur Budi, jengkel dengan cara berbahasa sang kenek. Seenaknya saja dia memberitahu penumpang yang mau turun di rumah sakit dengan sebutan “Yang Sakit”.
“Eh, Bud, Kenapa cembetut aje?” Tanya Endoy, teman sekelas Budiman, setelah mereka berhasil lepas dari cengkeraman bus neraka itu. “Pantat lu bisulan lagi ye?”
Budi mendelik. “Bisul lo Tanya! Tanya kek yang lebih prospek. Soal ekonomi dunia, ekonomi negeri kita!”
“Wah, gue nggak ngerti ama yang begituan Bud.”
“Tentu saja, lo kan ngertinya Cuma sama bisul”
“Iya, soalnya gue khawatir pantat lo bakal ditendang dua kaki lagi sama Pak Kalit, gara-gara lu nggak bawa…..”
“Kaos Olahraga!” Budi terpekik kaget, matanya sampai melotot. “Kiamat! Gue nggak bawa kaos olahraga lagi…!”
“Nah, gue bilang apa kan?”
Mendadak Budi merasakan di dalam perutnya ada dua ekor anak kucing yang sedang berkelahi. “Aduhh, kenapa sih nama Pak Kalit identik sama kaos olahraga…?”
“Lha, iya dong, pan dia guru olahraga. Kalo yang identik sama mikroskop tuh guru kimia….”
Perut budi semakin melilit tidak karuan. “Elo bawa kaos berapa, Ndoy?” Tanya Budi sambil meringis-ringis.
“Dua…”
“Ha…. Buat gue satu kan?!” Budi berjingkrak kegirangan.
“Boleh” Sahut Endoy tanpa ekspresi. “tapi yang satu itu kaos dalem, dan nggak ada cap sekolah kita.”

Pengin rasanya Budi mencubit pipi Endoy sekuat-kuatnya. “Kaos dalem sih nggak usah diceritain!” Budi merutuk-rutuk, membuat isi perutnya ingin segera mengalir sampai jauh.
Budiman terpaksa menumpah ruahkan isi perutnya di WC. Maksudnya sih sekalian ngumpet, karena jam pertama hari itu adalah olahraga. Urusannya membuat Budi makin senewen karena dirinya adalah ketua kelas. Perihal kaos olahraga bisa bikin merosot wibawa dan karisma dirinya sebagai penguasa kelas, kan terlalu pahit untuk bisa diterima dengan lapang dada. Apa lagi Pak Kalit, sapaan ringkas untuk Pak Simanungkalit, adalah guru olahraga yang wajahnya nggak punya darah, kayak wajah vampire pada umumnya gitulah.
“Budiman! Budiman!” sebuah teriakan membuat konsentrasi Budiman buyar. Untung ‘Pengeboman’ ke ‘Pearl Harbour’ sudah melewati detik-detik yang menegangkan. Jadi, dia bisa segera membuka pintu WC.
“Ada apa sih teriak-teriak, Jo? Batere baru ya?”
“Kamu dicari Pak Hamid,” Kata Bejo, teman sekelas Budiman yang asli Purworejo.
“Lo kok tau gue ada disini?” Tanya budi. “penciuman lu tajam juga.”
“Gimana nggak tajam, wong dari sini saja baunya sudah bikin aku mau muntah.”
Budi tersenyum sambil melirik pintu WC yang masih menganga. “Yaudah sono, nanti gue nemuin Pak Hamid. Eh lo bawa kaos berapa?”
“Tiga.”
“Apa?!” Mata Budiman berbinar-binar. “Lo harus pinjemin gue satu!”
“Nggak bisa!”
“Harus bisa, kan gue ketua kelas. Elo harus nurutin semua permintaan gue!”
 “Wah, gimana ya?” Bejo berpikir sambil mengusap-usap dungde alias hidung gedenya. “Kaos ku kan Cuma satu.”
“Tadi lo bilang tiga, gimana sih?!”
“Iya, yang satu kaos olahraga…”
“Yang dua lagi?” Serobot Budiman tidak sabar.
“Yang dua lagi kaos kaki…”
Budiman murka. “Hhhh… gue garot lo!”
Bejo segera melarikan diri, tapi dia masih sempat berteriak “Kalau kamu mau kaos, ada tuh di warteg sebelah, tapi kaos lampu buat petromaks….!”
Budiman sudah membayangkan wajah dingin Pak Kalit lengakp dengan tarig yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. Olahraga tanpa kaos, membuat Pak Kalit menganggap dirinya mangsa empuk yang siap diisap darahnya sampai tandas.
Budiman tertegun didepan pintu ruang guru. “Kemari ,Bud,” Pak Hamid menyuruh Budiman masuk.
“Ada Apa, Pak?”
“Kamu atur teman-temanmu ya, olahraga yang benar. Itu lapangan basket harus berfungsi sebagai lapangan basket, jangan jadi lapangan golf.”
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Pak Kalit Absen”
A-P-A….? Budiman seperti tak menjejak di bumi. Ia bagai mendengar suara durian runtuh dari mulut Pak Hamid.
“MERDEKAAA…!” teriak Budiman sekeras-kerasnya. Ia berlari ke lapangan basket, lalu membuat selebrasi bak David Beckham habis mencetak gol. Teman-temannya yang sudahmenunggu daritadi, hanya terbengong-bengong menyaksikan kelakuan ketua kelas mereka itu.
“Bud! gimana nih urusan olahraga?” Tanya teman-temannya.
Budiman tersenyum penuh kemenangan. “Terserah lo-lo pada. Mau main basket, senam, bola voli, main catur, bola bekel… TERSERAH!!!”
“Lho, emang Pak Kalit…?”
“Pak Kalit absen, everybody…”
“Pak Kalit absen? HOREEE….!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar