Check This..


Senin, 02 Januari 2012

Pak Kalit Absen Part II


                Pak Kalit absen lagi. Dikelas lain yang jam pertamanya olahraga, anak-anaknya bersukaria merayakan hari kemerdekaan berekspresi. Semua siswa bebas berolahraga apa saja yang menjadi hobinya.yang biasa mengidap stress kaerna tidak membawa kaos olahraga kayak Budiman, sembuh mendadak dan bebas petantang-petenteng di lapangan basket.
                Dua minggu kemudian…
                “Wah, Pak Kalit kok belom masuk juga?”
                “Tiba-tiba aku digerayangi kerinduan kepada Pak Kalit…,” kata Budiman, berlagak bak seorang pujangga.
                “Huuu… garing!”
                “Suer!” Budiman mengacungkan jari lambang viktori. “Gue kok ngerasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan gue disekolah ini. Sesuatu yang dramatis. Nggak lagi deg-degan karena nggak bawa kaos…”
                “Itu berarti,” Sahut Endoy. “Pantat lo mulai bisulan lagi dan mulai rindu untuk ditendang lagi…”
                Budiman melotot kearah Endoy. “Dasar pemerhati bisul!”
                Anak-anak mulai kasak-kusuk ketika sepekan berikutnya Pak Kalit tetap absen. Budiman berinisiatif untuk menanyakan kepada para guru. Tapi para guru tidak mendapat keterangan jelas dari Pak Kalit mengenai ketidak hadirannya selama itu. Hanya Pak Hamid yang tahu secara persis latar belakang raibnya Pak Kalit beberapa pekan ini.
                “Ada sesuatu yang dahsyat yang sedang terjadi pada diri Pak Kalit, Tapi Beliau minta dirahasiakan,” Kata Pak Hamid, dengan mimik penuh misteri. “Nanti juga kalian tahu.”
                “Mungkin dia lagi ngasah taringnya, biar lebih tajam…,” Bisik seorang siswa ke telinga Budiman.
                “Ah, ngarang aja lo,” sanggah Budiman.
                “Mungkin aja dia lagi berlatih untuk bisa lebih manusiawi terhadap kita-kita.”
                Anak-anak mengusulkan untuk bersilaturahmi kerumah Pak Kalit. Tapi untuk mengetahui keadaan Pak Kalit, diusulkan ada tim advance yang melakukan survey terlebih dahulu. Budiman setuju.
                “Tapi gue minta dua atau tiga orang pendamping,” usulnya.
                “Emang kenapa? Elo kan udah punya pendamping; itu jin qorin elo.”
                “Bukan begitu. Kalo gue diapa-apain sama Pak Kalit kan ada temen untuk mati bareng.”


                Sepakat. Tim advance untuk komite pencari Pak Kalit terbentuk, dengan ketua Budiman sang ketua kelas dan anggota Endoy, Ujang, Neneng, dan Nining. Siang itu mereka sedang menyusuri gang sempit yang gersang, bau, dan berkelok-kelok di bilangan Bukit Duri Tanjakan.
                “Nih daerah malang amat sih,” keluh Budiman.
                “Emang kenapa?” Sahut Endoy.
                “Lo lihat aja namanya; udah Bukit, ber-Duri, Tanjakan pula…”
                Ditambah lagi tak ada seorang pun yang tahu rumahnya Pak Kalit. Warga daerah yang ditemui Budiman CS kebanyakan bilang “nggak tahu”, “siapa tuh Pak Kalit” atau “Pak Kalit? Itu nama orang apa nama burung?”. Ada yang kasih jawaban agak mending: “Ini terus aja lurus, jangan belok-belok.” Tapi buntutnya bikin panas ubun-ubun: “Pas nemuin tembok, tabrak aja!”
                Mereka terus berjalan, bak serombongan kafilah nyasar di tengah gurun sahara.
                “Kita istirahat dulu yuk,” Usul Neneng.
                “Kita shalat dulu, udah masuk zuhur nih,” Sahut Nining sambil melihat jam tangannya.
                Sepakat. Mereka mencari masjid atau musala. Dan ketika mereka menemukan musala dipojok sebuah gang, keluhan Budiman mengalun lagi.
                “Ini musola atau kandang ayam?”
                “Sajadahnya udah pada gerepes begini, banyak tikusnya kali ya?”
                “Sudahlah,” Neneng dan Nining menengahi, “Yang penting kan kita bisa shalat.”
                Usai shalat, tim advance melanjutkan perjalanannya. Baru saja mereka meninggalkan musala beberapa langkah, Nining mengusulkan sesuatu.
                “Eh ada penjual makanan keliling tuh, kita beli yuk!”
                “Aku setuju. Cacing-cacing diperutku udah merintih-rintih daritadi,” cetus Ujang.
                “Pake alasan yang higienis dong, Jang”, Sungut Budiman. “Oke, kalo gue selain lapar karena yang jual pake jilbab, jadi makanannya pasti dijamin halal.”
                “Eh, bener juga,” Sahut Neneng.
                Tim pun merubungi sang penjual makanan keliling.
                “Bu, nggak jual burger kombinasi getuk ya?” Tanya Endoy.
                Si ibu tersenyum, “Adik ini ada-ada saja. Eh, kalian kok tidak sekolah? Madol ya?“
               
                “Nggak, Bu,” jawab Budiman sambil mengunyah sepotong bakwan. “Kami sih pelajar baik-baik. Nggak pernah madol. Sekarang ini kami lagi mencari rumah guru kami, namanya Pak Kalit.”
                Si ibu mengernyitkan keningnya. “Pak Kalit? Nama lengkapnya siapa?”
                “Pak Simanungkalit, guru olahraga SMA Nusantara. Ibu kenal?”
                “Subhanallah….,” si ibu bergumam sambil tersenyum. “Mimpi apa ya saya semalam?”
                “Nggak tahu, Bu,” Jawab Endoy. “Saya kan nggak tidur sama ibu…”
                Budiman menginjak sepatu Endoy sambil mendelik.
                “Nama saya Sakinah,” ujar si ibu memperkenalkan diri. “Saya ini istrinya Pak Ibrahim Simanungkalit, guru yang kalian cari…”
                Wajah tim advance melongo secara bergantian.
                “Masya Allah,” ujar Neneng. “Ini namanya pucuk dicinta…”
                “Nasi Ulam tiba,” Sambar Endoy yang langsung kena cubit Budiman.
                “Wah Kami Surprise banget nih, Bu,” Kata Budiman. “Nggak nyangka bisa bertemu dengan ibu.”
                Perjalanan pencarian Tim Advance pun berakhir dengan sukses. Mereka mengekor dibelakang Bu Sakinah yang menjunjung tampah di kepalanya dan menjinjing kantong keresek. Rumah Pak Kalit ternyata terletak dibelakang musala tempat mereka shalat tadi.
                “Mari silakan masuk,” Bu Sakinah berdiri didepan pintu sebuah rumah semi gubuk. Disekelilingnya rumah-rumah serupa berjajar, berdesak-desakan, tanpa tata ruang yang memadai. Ada rumah yang sedang menggeber “ Mbah Dukun”-nya Alam. Di depannya ibu-ibu sedang mencari kutu, membikin barisan berbanjar. Anak-anak kecil bertelanjang dada sedang bermain kejar-kejaran.
                Tim advance saling berpandangan. Seperti inikah rumah guru yang paling mereka takutkan itu? Dan pekerjaan istrinya…?
                “Silakan masuk, kakak-kakak,” seorang anak berbaju koko, berkopiah, dengan tas dipunggungnya menyambut tim advance.
                “Salim sama kakak-kakaknya, Salman,” Kata Bu Sakinah. Salman menyalami satu per satu Budiman CS.
                “Salaman pergi ngaji dulu ya, Kak,” Ujar Salman. “Assalamualaikum….”
                Tim advance menjawab salam dengan kompak. Tapi mereka belum juga berani masuk.
                “Elo aja yang masuk Ndoy,” bisik Budiman. “Badan lo kan alot, kalo digarot nggak enak.”
                Endoy memonyongkan mulutnya. “Ogah, elo aja. Darah lo kan manis, Pak Kalit pasti suka.”
                “Lho, kok belum masuk juga?” Tanya Bu Sakinah.
“I-iya, Bu,”  Budiman akhirnya memberanikan diri untuk masuk terlebih dahulu, diikuti yang lain.
“Sebentar ya, ibu panggilkan Bapak.” Bu Sakinah kembali ke dalam.
Anak-anak menebak-nebak apa sesuatu yang dahsyat yang sedang terjadi pada diri Pak Kalit. Tak lama, Bu Sakinah keluar diikuti Pak Kalit yang memakai kain sarung, berbaju koko, dan berkopiah. Anak-anak takjub melihatnya. Yang mereka tahu selama ini Pak Kalit itu non-Muslim.
“Assalamualaikum, anak-anak,” suara ngebass Pak Kalit terdengar menggema.
“Wa’alaikumsalam, Pak.”
“Kalian pasti bertanya-tanya ya,” sambung Bu Sakinah. “Kenapa Pak Kalit nggak masuk beberapa Pekan ini?”
Anak-anak mencoba tersenyum sambil mengangguk-angguk.
“Ibu sedang merasakan saat-saat paling membahagiakan dalam hidup ibu,” suara Bu Sakinah terdengar bergetar, matanya berkaca-kaca. “Akhirnya Allah memberikan hidayah-Nya kepada Bapak…”
Suasana tiba-tiba menjadi haru. Pak Kalit tampang tenang dengan wajah bercahaya, tidak lagi menakutkan seperti yang selama ini dikenal anak-anak.
“Sekarang nama Bapak ditambah,” suara Pak Kalit mengandung kebanggaan. “Jadi Ibrahim Simanungkalit. Ini karaena akhirnya Bapak menemukan keberanian seorang laki-laki dalam islam pada diri Nabi Ibrahim. Kalian tahu, Bapak selama ini paling takut melihat darah…”
“Kenapa Bapak tidak segera mengumumkan berita gembira ini?” Tanya Neneng.
“Iya, Pak,” Sahut Budiman. “Anak-anak pasti bangga mendengarnya.”
“Tentu Saja,” Pak Kalit tersenyum. (Itulah pertama kali anak-anak menyaksikan guru olahraga mereka tersenyum). “Tapi, Bapak kira pengumuman itu kurang terasa berkahdan hikmahnya kalau Bapak belum mengikuti jejak Nabi Ibrahim yang disunahkan nabi kita. Sunah yang melambangkan keberanian seorang laki-laki, yang membuat ketakutan Bapak pada darah hilang sama sekali.”
“Apa itu, Pak?” Tanya anak-anak berbarengan.
“Dikhitan,” jawab Bu Sakinah. “Bapak nggak masuk selama beberapa pekan ini karena dikhitan…”


“Apa? Pak Kalit disunat?” pertanyaan itu segera merembet keseluruh pelosok SMA Nusantara, komentar pun berlesatan.
“Pak Kalit disunat? Emang masih bisa? Apa kaga alot tuh?”
“Udah! Udah!” Budiman menetralisir setiap komentar yang muncul. “Elo-elo jangan pada ngarang  komentar yang neko-neko deh. Pak Kalit sekarang sudah jadi seorang Muslim, jadi beliau harus disunat.”
“Bukan begitu , Bud,” celetuk seorang siswa. “Kita-kita kan ngeri ngebayanginnya. Gimana motongnya tuh…?”
“Ah, norak lo pada,” Endoy ikut nimbrung. “Nabi Ibrahim aja disunat waktu umurnya udah tua. Emang Pak Kalit nggak boleh ngikutin Nabi Ibrahim?”
“Lagian,” sahut Ujang. “Sekarang ini teknologi persunatan sudah makin canggih. Nggak usah lagi pakai pisau, karena sudah ada teknologi laser.”
“Dijamin nggak meleleh,” cetus Budiman mengakhiri kehebohan anak-anak dikelasnya.
Dan, Senin pagi itu jam olahraga kembali dipimpin oleh Pak Kalit, yang kelihatan lebih gagah dan berwibawa.
“Mulai saat ini, panggil nama saya Ibrahim!” kata Pak Kalit, eh, Pak Ibrahim. Anak-anak mengangguk tanda mengerti.
“Siapa yang tidak bawa kaos?!” Tanya Pak Ibrahim dengan galaknya.
Budiman cengar-cengir ditempatnya, sambil menarik-narik kaosnya, memamerkannya kepada teman-temannya yang lupa membawa kaos.
“kalian tahu hukuman buat yang tidak membawa kaos?” Tanya Pak Ibrahim.
Anak-anak terhukum itu menggeleng dengan pasrahnya.
“Baca istighfar 5.000 kali sambil lari keliling lapangan 10 kali! Cepat laksanakan!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar